Salah satu NLP presuppositions adalah The Map is not the territory. Apabila kita masih bingung mengartikan apa yang dimaksud dengan kalimat tersebut marilah kita llihat simak penjelasan di bawah ini:
Faktanya, The map is not the territory merupakan salah satu landasan dasar dari Neuro-Linguistic Progamming ( NLP ). Artinya, pemahaman mengenai dunia merupakan representasi Anda sendiri, bagaimana Anda melihat dan merepresentasikannya, dan bukanlah gambaran sepenuhnya dunia itu sendiri.
Supaya dapat memahami sesuatu, kita akan memetakannya dalam pikiran. Dan tentu saja apa yang kita petakan merupakan pengalaman, pemikiran, persepsi dan asumsi sendiri berdasakan apa apa yang kita alami ataupun gambarkan dalam pikiran kita.
Apa yang kita gambarkan semata-mata merupakan referensi dari sebuah kenyataan. Sudah tentu sering sekali jauh dari kenyataan itu sendiri. ‘Dunia’ kita adalah sebuah interpretasi. ‘Dunia’ kita merupakan gambaran kita sendiri dari realitas, dan kita berpikir dan bertindak berdasarkan gambaran dari realitas tersebut. Kata-kata yang kita pergunakan tidak sama persis dengan kenyataan itu sendiri.
Demikian juga dengan bahasa/linguistic yang kita pergunakan. Bahasa maupun linguistic kita adalah referensi dari dunia gambaran kita, dan merupakan referensi dari realitas, daripada realitas itu sendiri.
Apabila kita percaya bahwa hanya dunia yang kita ciptakan merupakan satu-satunya kebenaran, artinya kita mengatakannya menggunakan ego kita, dan bukanlah sebuah kebenaran.
Bayangkan apabila semua orang memahami prinsip ini. Hidup lebih damai dan hubungan dengan orang-orang akan menjadi lebih baik. Lalu bagaimana supaya kita bisa memiliki perasaan lebih baik, memiliki hubungan dan interaksi lebih baik dengan orang lain? Tentu saja dengan memperlebar ‘peta dunia’ kita. Dengan memperlebar ‘peta dunia’, kita bisa melihat dari perspektif-perspektif yang berbeda. Semakin luas peta dunia kita, semakin detail peta tersebut, semakin kaya dan fleksibel seseorang